Mengira Kebaikan untuk Saudara

@nurmasawiyya “Seorang mukmin adalah orang yang mencari alasan-alasan kebaikan atas saudaranya.” (Ibnul Mubarak)
.
.
Seberapa sering kita mengira-ngira dan menjatuhkan tuduhan pada saudara seiman kita? Aku secara personal, mengakui, sering – kalau tidak bisa dikatakan selalu. 😣 Terkadang jiwa perfeksionisku menjadi halangan untuk memikirkan hal positif atas perilaku atau perkataan yang terlontar dari saudaraku.
.
.
Ketika janjian terlambat, aku seringnya menggerutu dan menyangka ia lalai.
.
.
Ketika ada yang terlupa, aku menuduhnya tak peka dan kurang bertanggung jawab.
.
.
Ah.. padahal hak atas persaudaraan salah satunya adalah mencari makna baik atas apapun yang dilakukan saudara. Sebab bagi mukmin, ketaatan merupakan nafas hidupnya. Fitrahnya. Dan ketika aku mengira ia berniat buruk, maka aku menuduhnya tidak taat kepada Allah.
.
.
Tentunya aku bersedih jika aku dituduh demikian.😭 Maka, ketika aku menyangka keburukan kepada orang lain, rasanya aku sudah melakukan kejahatan.
.
.
Bersaudara. Mukmin adalah saudara. Sejauh mana kita memaknai kata “ikhwana” – saudara? Jika tidak terdefinisi, mari kita berkaca pada para Anshar yang menyambut mukminin yang berhijrah ke tanah Yastrib.
.
.
Koneksi mereka nyaris nol. Tak pernah ada komunikasi sebelumnya. Tidak seperti sekarang, berteman dan bertatap lewat jejaring sosial. Tubuh yang asing. Wajah yang asing. Nama yang asing. Satu-satunya yang akrab dari mereka hanyalah jiwa yang telah mengakui ketundukan kepada Allah.
.
.
Dan bagi mereka, cukup alasan itu yang menggenapkan keyakinan mereka menyerahkan apa yang mereka miliki untuk dibagi. Rumah untuk bersama dimasuki. Ladang untuk dibagi pengelolaannya. Bahkan istri yang diridhoi untuk diberikan karena iman.
.
.
Itulah ikhwana – saudara.
.
.
.
Dan bagiku, bagimu, bagi kita, sulitkah untuk sekadar mengira kebaikan bagi saudara? Alangkah pelit dan keras hati ini jika untuk sekadar menyangka baik saja sulit.
.
.
Katakanlah: ” aku, kamu, kita bersaudara. Dan atasmu, atas dia, atas mereka; aku tak akan menyangka kecuali kebaikan!!!”
.
.
.
.
#notetoself
#reminder
#PemudaBeraniBerakhlak
#IndonesiaBerakhlak

Menikahi Pemuda Surga

Menikahi Pemuda Surga

Oleh Nining Nurma Sawiyya

 

“Aku akan menikah.” Frasa itu dilontarkan padaku dan membuatku sukses tersedak. Kami berlima, sahabat lama sejak SMA tengah ngobrol dan menikmati masa reuni kami, ketika Pratiwi meloloskan kalimat tadi. Bukannya tidak senang, tapi apakah ini tidak terlalu mendadak? Usia kami baru 24 tahun! Baru menikmati masa kerja dan mencicipi manisnya penghasilan sendiri, menikmati masa single not available kami. Aku menatap sahabatku itu.

“Errr… mendadak banget.” Aku mencelos.

“Lah.. kamu kan tahu, lamarannya sudah 2 bulan lalu, mau ditunda sampai kapan? Suka heran deh!”, Aisyah mengomentariku.

“Tapi Wi, aku masih gak percaya kamu terima lamaran dia!”, aku keukeuh tak mau kalah. Merasa sangat kehilangan. Bagaimanapun kami berlima sudah bersahabat cukup lama, 9 tahun! Waktu yang mengeratkan kami untuk selalu berkumpul bersama, sesekali bicara soal hiruk pikuk dunia, juga soal menggelikannya hubungan pria-wanita yang katanya dewasa tapi miskin komitmen.

“Kamu jomblonya udah terlalu akut, Ma! Mending sana cari jodoh daripada ngerecokin Tiwi.” Gemas. Dijitak pelan kepalaku oleh Liana, sahabatku yang kini bekerja di Jakarta.

Aku memandang Liana ngeri! Apa? Cari jodoh? Enggak, enggak, aku belum mau terikat berdua sehidup semati, aku masih punya banyak mimpi, aku juga gak mau diri aku yang kekanakan begini disodori perjanjian berat yang menggetarkan Arsy, aku gak siap! Lagipula, kami berlima memang sebetulnya tak ada target menikah muda, bahkan sempat nyinyir dengan teman-teman lelaki sekelas kami yang berlomba menikah. Ah elah, kami saja yang perempuan biasa aja!

“Jomblo itu menangguhkan, Say! Aku gak keberatan kok menjomblo, lagian aku gak mau pernikahanku cetek! Masa cuma gara-gara desakan orang tua aku mesti menikah? Atau hanya karena ada yang jagain? Idih… cetek banget tuh!”. Cibirku yang membuat Aisyah terbahak sampai menangis.

“Hati-hati, Ma. Kamu bisa jadi komplotan feminis karena kelewat mandiri”, Risma mengingatkan. Memang di antara kami berlima, yang paling keibuan dan ke-perempuan-an adalah Risma. Tiwi juga sih.

“Eh.. enak aja, aku gak feminis! Aku hanya gak habis pikir kok ada laki-laki yang menikah untuk sebatas menyalurkan hasrat ‘aku-cinta-kamu’! Dipikir gampang apa ngebina rumah tangga? Tinggal pakai semangat ngehalalin aja? Cih.. dangkal! Lagipula, kita kan sudah berkali-kali bicara ini. Aku melihat pernikahan sebagai unsur penting dalam membangun negeri yang Thoyyibah, baik. Kalau pernikahanku sebatas menjaga farji, aku gak mau!”. Risma membelalakkan mata, Aisyah terkekeh pelan, sementara Pratiwi dan Liana manggut-manggut.

“Kamu sensi amat sih!.” Aku terdiam. Lalu meninggalkan mereka yang masih berceloteh riang di ruang depan rumah Pratiwi.

Pertanyaan kenapa dan kok bisa terus bermunculan di alam pikirku. Kenapa Tiwi mau menerima lamaran teman semasa SMP-nya itu? Mereka kan gak saling dekat? Mereka bukan sahabat. Bertegur sapa saja jarang dilakukan. Kok bisa? Kok bisa mempercayakan hidupnya ke orang yang gak begitu dikenal? Kalau dia pelaku KDRT gimana? Jangan-jangan tuh cowok udah modus sejak lama, kan ngeri!

Aku selalu berpendapat, pernikahan haruslah punya satu tujuan besar di dalamnya, tujuan untuk membangun generasi unggul yang punya iman dan cerdas. Karena agungnya tujuan pernikahan itu, aku tidak bisa ‘memaafkan’ kalau ada seorang lelaki yang meminangku hanya karena dilihatnya aku keibuan dan dia jatuh hati padaku! Memang aku serendah itu sampai dinikahi karena hati?

Membaca kisah para shahabiyah sedikit banyak membuatku cemburu, ah.. bukankah Asma membangun biduk keluarga dengan Zubair bin Awwam demi generasi Qur’ani? Ketika islam saat itu butuh benih penguatan dakwah? Atau lihatlah Ummu Sulaim yang menjadikan dirinya perantara hidayah bagi Abu Thalhah! Pernikahan mereka rasanya mustahil dihantui cinta membara yang membuat lupa daratan! Keningku berkerut. Sudah cukup aku melihat pernikahan yang harusnya agung malah jadi permainan omong kosong bernama cinta!

Raihan. Nama itu yang menorehkan luka besar menganga sampai sekarang. Raihan yang nyaris menikah denganku. Raihan yang begitu rupa meyakinkan orangtuaku. Raihan yang menghadiahkan buku kumpulan tulisanku yang sengaja dibuatnya di percetakannya sendiri. Raihan yang mengatakan akan mendukung mimpiku untuk menjadi penulis. Raihan yang membuatku menggigil ketakutan karena cintanya yang bergelora. Cintanya pula yang membuatku urung menerimanya. Dia terlalu asyik membangun dunia untukku. Mana gairah dakwahnya?  Mana program ibadahnya? Aku tahu menikah juga bentuk ibadah, dan romantisme adalah hal yang akan mendulang pahala. Tapi hanya sebatas itukah? Aku merasa hina. Sangat hina. Alasannya menikahiku adalah cinta. Aku menggeleng. Cinta macam apa yang akan membuatmu lupa urusan mulia?

Kini, Raihan sudah menikah. Dengan perempuan lebih tua 4 tahun darinya. Pernikahan mereka dibuahi seorang anak lelaki lucu nan menggemaskan bernama Ammar. Tapi sikap Raihan pada istrinya tak hangat, sebatas menghormati dan menjaga. Terakhir kali kudengar kabar ia sedang mendekati seorang perempuan muda. Mencari cinta yang bergelora. Pening. Cinta yang menakutkan itu membuatku merasa yakin, cinta itu omong kosong saja. Makanya, aku tidak mau dinikahi atas dasar cinta. Itu kan penafsiran manusia saja tentang lihainya hormon endorphin, dopamine, dan seabrek hormone lain yang membuat efek melayang pada tubuh!

***

Kalut dan merasa tak mengerti, itulah yang aku rasakan ketika Tiwi memutuskan menikah. Aku sungguh tahu, menikah itu ibadah, menikah itu menggenapkan iman, tapi aku juga ragu, apa aku cukup layak menjadi seorang istri, dan bagaimana aku tahu lelaki itu cukup pantas menjadi imam? Aku tidak yakin.

“Wi, kenapa kamu nerima dia? Kamu yakin dia bukan makhluk menjijikan yang menikahmu karena kebelet kawin?”, aku menelepon Tiwi, meminta dia curhat, menagih suatu penjelasan yang setidaknya bisa membuat hatiku berdamai.

Tiwi tertawa pelan. Dia memang tidak pernah terbahak, dia tipikal wanita kalem yang jarang banyak omong dan gak pecicilan kayak aku. Meski terbilang rapi menutup aurat, aku tidak feminin dan tidak anggun. Tawaku kencang, dan aku suka perang urat syaraf dengan siapapun yang melanggar kedisiplinan atau aturan – seperti soal lalu lintas dan mengantre.

“Aku galau, Wi!”. Aku mendengus, perempuan satu ini tak berhenti tertawa sejak tadi.

“Aku yang mau nikah, Ma. kenapa kamu yang galau?”. Ingat Tiwi. Dih, kayak gak tahu saja dia masalah pesimismeku yang sangat besar.

“Aku gak percaya, Wi. Aku gak percaya kalau ada lelaki yang cukup ‘pantas’ dan tidak membuatku ilfeel dengan ketidakmatangan dan rasa cintanya. Makanya, aku pingin tahu, kamu kok bisa menikah sih? Apa yang kamu yakini dari dia?”

“Ma, gak ada manusia yang sempurna. Gak ada, camkan itu. Aku tahu dia akan semakin terlihat kekurangannya dari waktu ke waktu, nanti. Aku juga tahu, ada banyak hal yang aku gak tahu soal dia, kecuali pandangannya hidup yang berkah dalam ibadah. Aku gak tahu kebiasaan jeleknya apa, seperti aku juga gak tahu apa kelebihannya. Tapi, dengan melamarku, aku tahu dia punya kesungguhan yang tak dimiliki lelaki pada umumnya.” Dia berkata pelan, mantap.

“apa modal kamu untuk yakin sama dia, Wi?”,

“Aku yakin dia baik dan akan membimbing aku jadi lebih baik. Modalnya adalah keyakinan pada Allah, yang menggerakkan kaki dan hatinya untuk melamarku. Apa aku harus bertanya banyak padanya? tidak. Cukup aku mengetahuinya punya niat baik padaku, apa perlu aku cek latar belakang dan sepak terjangnya sebelum melamarku? Aku kira tak perlu, Ma. Allah is enough to make you believe.” Tiwi menjelaskan panjang lebar.

“Satu-satunya cara kamu menilai adalah dengan melihat caranya mendekatimu, apakah dia bermain kata cinta padamu, atau menerangkan maksudnya langsung pada orangtuamu? Raihan memang tipikal anak santri, Ma, tapi jalurnya tidak tepat, itu yang membuatmu merasa jijik padanya. dia mendekatimu langsung, membuatmu hendak terpikat dengan keingintahuannya soal kamu dan mimpimu. Itu yang membuatmu gamang, kan? Kamu perempuan hebat, yang tak bergeming meski dilimpahi cinta yang begitu deras.” Bisik Tiwi menenangkan.

“Aku merasa hina, Wi. Itu yang membuatku bersikeras menolak lamarannya. Itu yang membuatku benci kala laki-laki meminangku atas alasan cinta.”

“ssttt… cinta itu bukan hal yang menjijikkan. Ia fitrah. Ia alami, sebuah hasil pasti dari interaksi dan ketertarikan lelaki-perempuan. Kamu gak bisa menyalahkan. Itu normal. sangat normal. masalahnya, ketika penyampaian dan salurannya tidak tepat, itulah yang membuatku merasa jijik, kan?”

Aku mengangguk. Iya, benar. Karena penyampaian kata cinta itu sendiri sudah cukup jadi indikasi penyelewengan terhadap cara memuliakan perempuan. Cinta itu fitrah, tapi kalau salurannya salah, bisa jadi efeknya membuat muak. Aku bukan perempuan abnormal, detak itu hadir dengan ritme cepat jika ada lelaki yang berkata manis, bicara aku lah perempuan yang pas dijadikan pendamping. Tapi di sisi lain, itu membuatku merasa hina, dilimpahi romantisme sebelum waktunya!

Aku menangis cukup lama. Melepas semua sakit yang kurasa, menangisi rasa hina yang sudah lama tertawan di hatiku. Menikah memang menentramkan. Sebab setiap debar bermakna pahala, setiap senyum menjanjikan surga, setiap rindu mendefinisikan cinta yang agung, setiap canda menggelontorkan mawaddah, pun meski hanya bertautan tangan, berguguranlah dosa dari keduanya. Tapi menerima cinta sebelum menikah itu menyiksa! Aku tahu betul itu. Aku pernah punya dosa masa lalu, soal Raihan. Itu pula yang membuatku pesimis melihat lelaki di luaran sana. Palingan macem Raihan, jenggot aja dipelihara, tapi rasa malu tak punya! Aku merutuk kesal. Lalu menerapkan standar tinggi, tidak boleh ada cinta yang menjadi alasan pernikahan.

Namun pembicaraanku dengan Tiwi setidaknya memberiku angin segar, cinta itu fitrah. Gak masalah kok mencintai seseorang lalu berniat menikahinya, tapi ada rambu-rambunya. Bukan asal bilang, I love you terus baru nongol di beranda rumah! Gak begitu adabnya. Cinta itu diugkapkan, nanti saja, kalau sudah dinaungi pernikahan. Makanya, menikah itu menentramkan. Lagipula hanya lelaki dewasa yang akan mampu melakukan demikian, menahan hasrat cintanya, menekan setiap denyut agar jangan sampai keluar sebelum waktunya, lalu tiba di hadapan orangtua menyatakan kesungguhan. Ya, ya. Gentlemen sekali, bukan? Apalagi yang mesti dipertimbangkan? Kalau Allah tujuannya, Insya Allah dimudahkan. Soal sempurna? Ah… mana ada kesempurnaan? Yang penting kesiapan untuk terus tumbuh kembang dan belajar, belajar untuk memberdayakan potensi guna ibadah kepada Allah. Masih kurang?

Aku percaya, tidak ada yang perlu ditakuti, selama landasannya adalah iman kepada Allah. Landasan ini yang akan memastikan masa depanku nanti – menikah kini atau berjodoh di usia tak muda lagi. Toh, bukan itu yang kurisaukan. Selama Allah di hati, tak mungkin ada lelaki bermain api yang hendak membakar hatiku lagi. Aku juga perlu introspeksi diri. Mungkin sikap nyeleneh-ku dan urakan yang membuat imbas kepada lelaki miskin iman yang memanfaatkan kata ‘pernikahan’ untuk masuk ke pekarangan. Kesempurnaan itu tidak semewah yang kubaca di lembaran sirah nabawy, cukup dari komitmen menjaga diri, dari kesederhanaan yang jadi cermin ketangguhan mukmin. Menikahi pemuda surga itu tak semewah pengorbanan Ummu Sulaim demi mengislamkan Abu Thalhah, tapi cukup sesederhana kesungguhan lelaki untuk tidak mengumbar cintanya. Cukup sesederhana keyakinan perempuan menerima pinangan lelaki yang akan mengajaknya beribadah dengan seluruh potensi yang dimilikinya.

Menikahi Pemuda Surga itu tak repot. Pernikahan surgawi itu tak rumit.

 

BIODATA PENULIS

Nama Lengkap            : Nining Nurma Sawiyya

Akun Media Sosial     : IG @nurmasawiyya, FB Nurma Sawiyya, twitter @nsawiyya

Surel                            : sawiyya@gmail.com

 

 

by the way, ini naskah cerpen yang urung aku kirimkan pada saat lomba (tentunya tema lombanya emang soal beginian). entahlah, bicara topik ini malah bikin aku geli. jadi kuurungkan saja. Mau kubuang, sayang, jadilah terdampar di websiteku saja. hahaha…

Untukmu, Brada

Aku tak butuh senyum manis itu. Atau gurau yang menggodaku. Aku hanya ingin satu: kebebasanmu.

Kebebasan yang tak harus membuatmu menentang.
Kebebasan yang tak harus membuatmu menjauh.
Kebebasan yang tak memberi penjara lain bernama prasangka.
Kebebasan yang kau perjuangkan dengan baik-baik,
Bukan kau renggut paksa.

Kebebasan.
Bukan untuk memisahkanmu.
Tapi agar kamu terlepas dari ketakutan dan kebergantungan pada selainNya.

Posted from WordPress for Android

Unromantic Prose

Aku adalah keegoisanmu. Hal yang ingin kau capai, namun tak mau kau beri pengorbanan. Rindu yang mengarah padaku. Resah yang kau bagi denganku. Tangis yang kau tunjukkan padaku. Risau yang kau curahkan dengan mudah tanpa ragu. Juga tawa yang meluncur dengan merdu. Tapi dari segalanya, tak ada pembelaan buatku.

Apa aku akan baik-baik saja dari serangan ingatanku?

Apa hatiku tak berlubang setelah masa ini selesai?

Sebab sebelum penetapan, kau hanyalah orang asing yang dipentingkan karena alasan. Alasan yang membuatku berkali-kali membuang egoku demi keselamatanmu.
Alasan yang membuatku berkali-kali menyusun ulang hatiku agar tak bercelah setan.
Alasan yang membuatku berkali-kali harus menghampirimu meski rasaku bilang kau berbahaya.

Ya. Sebab sebelum penetapan, kau orang asing yang dipaksa masuk dalam hidupku.

Aku juga orang asing buatmu. Tapi kau melanggar batas. Memberi kisah yang tak perlu.

Posted from WordPress for Android

IBUNDA, TAK CUKUP CINTA!

Ibunda, Tak Cukup Cinta!
@nurmasawiyya
(2/3)

Tujuh kali! Bahkan satu-dua kali Hajar berkeliling pun ia tahu, tak ada apapun sepanjang jalurnya. Matanya jelas-jelas tak rabun. Tapi sungguh usahanya berlari sebanyak yang ia bisa adalah sebuah gugatan: Wahai Allah, lihat jerih payahku!!
.
Dengan nanar dilihat Ismail kecil yang masih menangis sembari menghentakan kaki. Rasanya teriris hati. Siapa yang tega? Siapa yang suka mendengar jeritan belahan jiwa?. Ah.. kalau saja bukan perintahNya ia di sini, mungkin sudah dikutukinya tempat ini dan dirutukinya sang suami yang meninggalkannya begitu saja!

Tangis sudah akan pecah, ketika dilihatnya sesuatu keluar dari sela kaki bayinya. Air yang memancar. Jernih. Segar. Konon, malaikat Jibril mengetuk sayapnya ke tanah tempat Ismail berada atas perintah Allah yang menyaksikan kesungguhan cinta Ibunda Hajar.

Bergegas dipeluknya Ismail, diangkat, lalu satu tangannya yang lain menggali lebih dalam untuk menampung air yang memancar tanpa henti. Air itu dinamai Zam Zam. Air yang kini tak berhenti melimpah dan memberikan manfaat.

Para pengembara tahu betul betapa gersangnya Mekkah saat itu, sehingga tak ada satupun atap yang akan bernaung di sana. Pun walau hanya tinggal barang sejenak. Tapi sekumpulan rombongan mendapati Hajar yang sedang meminum air, lalu meminta izin untuk membangun pemukiman di sana.

Maka kita tahu, Ismail dan Ibunda Hajar diperintahkan di sana bukan sekadar ditinggal lalu menderita tanpa perlindungan seorang Ayah dan Suami. Mereka di sana untuk mencipta peradaban baru di tengah gersang tandus, dari mereka lah kemudian Mekkah memulai hidup kemasyarakatan, menjadi wilayah yang strategis untuk tinggal, satu wilayah yang kelak akan jadi satu puncak peradaban dan titik peribadahan.

Ini memang bermula dari seorang perempuan.

Bermula dari kesungguhan perempuan menerima takdir yang ditetapkan atas dirinya.

Bermula dari ibu yang mencintai anaknya dengan aqidah yang kuat.

Bermula dari istri yang mempercayai suaminya dengan iman.

Bukankah menjadi perempuan adalah kesempatan beramal sholeh yang besar? Peran ibu yang mendidik anak tak akan pernah bisa diganti oleh pengasuh manapun. Peran istri yang melayani suami tak akan pernah bisa diganti asistem manapun.

Sungguh menjalani kedua peran itu jelas tak hanya butuh cinta. Jelas ada yang lebih agung daripada cinta, yaitu keimanan yang kuat dan karakter muslimah yang kokoh.

Siap jadi Ibunda Hajar selanjutnya?

#GreatWomanSeries #IbundaHajarII #qurban #ismail #ibrahim

Ibunda, tak cukup cinta!
@nurmasawiyya
(1/3)

Menjadi ibunda, berarti menggelontorkan ruahan cinta tanpa batas pada sang ananda. Tapi cinta tak cukup. Cinta butuh ilmu, cerdas pikir pun keteguhan karakter. Itu yang diajarkan Ibunda Hajar pada kita.

image
Diunduh dari Google

Ismail. Adalah buah kecerdasan dan kesungguhan karakter seorang ibu. Ismail yang taat pada Allah, Ismail yang bertutur jernih pada ayahanda Ibrahim soal kesanggupannya menjalankan titah Allah. Sungguh, di usia belasannya, ia berkata bahwa semoga ia termasuk pada orang yang bersabar atas perintahNya.

Tapi Ismail ‘hanyalah’ hasil dari didikan ibunda. Hajar menanamkan akar iman yang menancap dalam, sejak Ismail ada dalam timangan. Ketika Ibrahim, sang suami, meninggalkannya di jumputan tanah di tempat tandus. Tanpa berkata apa-apa.

Hajar bertanya berkali-kali,  “Mengapa kau meninggalkan aku di sini? Di tempat tanpa tanda kehidupan begini??”.

Sungguh, Ibrahim tak sampai hati. Sungguh Ibrahim pun tak mengerti, selain sebuah yakin bahwa ini yang Allah ingini.

Hajar tentu memahami perangai Ibrahim tanpa kecuali. Maka ditanyanya sekali lagi, “Kanda, apakah Allah yang memerintahkan ini?”. Pedih. Tangis itu tertahan. Keduanya tak tega mengawali sedih.

Ibrahim hanya mengangguk pilu.

“Pergilah kalau begitu. Allah tak akan menelantarkan kami di sini”. Tegas. Tak dihalanginya suami menjalankan amanah atasnya. Dia menguatkan. Tak apa. Sungguh, Allah yang akan menjaga dia dan si kecil.

Tak ada marah. Apalagi baper berkepanjangan. Direlakan sang suami pergi. Direlakan dirinya terasing di antara belantara tandus pasir. Tak ada keluh. Tak pernah ia menyalahkan sang suami yang pergi begitu saja. Pada jiwanya, ia senantiasa menguatkan, inilah yang digariskan.

Bahkan ketika si kecil Ismail merengek kehausan. Terik. Kering. Tandus. Tanpa tanda kehadiran orang. Tanpa sumber air. Sungguh, susah hatinya.

Ah.. akankah kita wanita, setangguh ia?

Yang memilih kuat tanpa caci?

Yang memilih tangguh tanpa mengeluh?

Dijalaninya upaya itu demi sang buah cinta. (Berlanjut ke next post yaaa)

#IbundaHajar #GreatWomanSeries #qurban #ismail #ibrahim ”

Maksud di Balik Proses

Nurma Sawiyya

 

Berapa lama kita menghabiskan waktu di depan buku dan meja persegi? Sekurang-kurangnya, setiap orang di negeri ini berhak duduk di bangku sekolah hingga jenjang menengah. Kenapa bersekolah? Bagi saya pertanyaan itu begitu menggelitik untuk dilontarkan. Tujuan besar pendidikan cuma dua hal. Benarkah? Ya. Pendidikan di-ada-kan untuk membentuk manusia agar cerdas dan baik. Itu saja. Cerdas tak mengacu pada nilai IQ yang tinggi atau kemampuan menyelesaikan ujian kelulusan dengan keluaran memuaskan, tapi kemampuan beradaptasi dengan lingkungan, memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan. Baik? Barangkali definisi baik di sini yang sering jadi perdebatan.

Pendidikan akan menjadikan seseorang baik. Apa sih baik?

Good, atau baik, bisa jadi universal. Ada hal-hal yang disepakati secara umum untuk memberi label pada orang bahwa “dia baik”. Kejujuran, tanggung jawab, cintai damai, itu di antaranya. Baik bisa juga spesifik, menyerap budaya dan kebangsaan tempat kita tinggal, kesopanan, ketaatan beragama, itu contohnya. Maka secara kasar, kita akan menyimpulkan, seiring lajunya pendidikan maka akan semakin pandai orang tersebut untuk beradaptasi, dan semakin baik pula orang tersebut dalam berperilaku. Mudahnya, pendidikan akan menelurkan orang-orang penuh cinta terhadap diri, orang lain, dan lingkungannya.

Apa yang saya bayangkan?

Saya membayangkan negeri utopis. Negeri yang di dalamnya, hidup sekumpulan orang yang berpikir jauh ke depan karena cinta yang meruah di dalamnya. Para guru akan berpikir ribuan kali untuk menyerah tatkala anak didiknya tak memahami pelajarannya, bahkan akan tercipta inovasi dan variasi metode pembelajaran demi sang anak mencapai pemahaman yang dibutuhkan. Para orangtua akan berpikir ribuan kali untuk meninggalkan anaknya tanpa pengasuhan maksimal sebab ia menyadari, masa depan bangsanya ada dalam keluarganya. Para petinggi akan berpikir ribuan kali untuk berlaku kecurangan dan menjual asset negeri, sebab baginya kejayaan negeri tak hanya bicara soal hari ini, tapi puluhan dan ratusan tahun setelahnya.

Saya agak menyayangkan, ketika salah seorang guru sekolah dasar yang saya kenal bicara soal pandangannya mengenai perubahan kurikulum saat ini. Baginya perubahan kurikulum begitu memusingkan, merepotkan, banyak hal harus diubah dari cara lama yang biasa dilakukannya. Ah… kalau saja, cintanya mampu melihat puluhan tahun mendatang, maka menyesal lah dia telah mengabaikan kesempatan melakukan investasi besar demi kebermanfaatan.

Kalau pendidikan tinggi ini membuat saya jadi arogan, maka saya bukti produk gagal pendidikan itu. Kalau mengecap bangku pendidikan membuat seseorang semakin jauh dari kebermanfaatan, maka apa guna tahunan yang dihabiskan? Mungkin kita lupa, ada udang di balik batu, ada maksud dari proses kehidupan yang kita lalui, dalam hal ini pendidikan. Maka saatnya kita bertanya pada diri kita sendiri, benarkah saya bersekolah? Inikah diri yang sudah berpendidikan? Apa saya sudah baik? Apa saya bermanfaat? Apa saya dicintai lingkungan saya?

Tangis itu sudah Kering Sejak Lama

Aku bukan pemerhati media, tapi sesuatu yang begitu viral tak pernah lepas dari tangkapan radarku. Walaupun aku mengecek smartphone semata untuk mengecek Instagram (ketahuan narsis.hahaha..), melihat chat group dari WhatsApp, atau sekadar melihat headline news dari UC Browser yang suka Pop Up sewaktu-waktu, aku tahu apa yang terjadi di luar sana. Di tengah kesibukan mengerjakan TA yang sempat hilang dibawa maling (laptopnya yang raib, beserta semua data di dalamnya T.T), aku menemukan hal yang sangat miris terjadi akhir-akhir ini. Apa? Bukan, bukan maraknya nikah muda. Bukan juga seabreknya foto di nikahan mantan.  Temans…. Aku mengecek berita terpopuler minggu ini, apa yang muncul?

kasus pelecehn

YUP. Kasus pelecehan dan kekerasan seksual, yang tragisnya mengakibatkan kematian. Belum lama setelah kasus Yuyun yang ‘dikeroyok’ pemuda tanggung yang ramai-ramai melahapnya, kasus-kasus serupa tak habisnya muncul. Pemuda tanggung yang kalau aku pikir, gak tanggung-tanggung dosanya! Kalau disarikan, jangkauan umur pemuda yang sedang naik daun karena jadi pelaku utama di kasus ini masih remaja. Baru baligh. Baru anak kemarin sore, yang bisa melakukan kejahatan seksual pada perempuan yang jauh lebih tua. Bocah lelaki umur 15 bisa melakukan kejahatan seksual pada perempuan berumur 19 tahun, bahkan kalau masih ingat kasus Surabaya Gang Dolly, ada juga bocah SMP yang jadi pelanggan nenek berumur 60an tahun. Bergidik. Cuma itu yang aku rasakan.

Apalagi kalau membaca berita soal Eno, karyawati yang dibunuh dengan cara keji, cara yang juga menggambarkan apa yang ada di otak pembunuhnya: SEKSUALITAS. Aku tak pernah bisa membayangkan, apa saja yang di baca, dia lihat, dia tonton, sampai punya pemikiran melakukan hal sebejat itu. Yang gak kebayang, coba serach aja bro, berita tentang Eno Parihah. Aku gak sanggup menceritakannya dengan detail.

Aku bukan mau jadi penghujat, atau menyalahkan. For everything happened, aku berkaca, sampai dimana aku menjadi manusia? Apakah aku berhak dilabeli manusia, ketika aku menutup dua mataku untuk tak mau melihat ada yang sedang sekarat, terseok menuju kematian. Mati yang lebih buruk dari kematian jasadi, matinya akal dengan tak lagi bisa menimbang kebenaran. Matinya hati, dengan tak lagi mampu membeda, apa itu buruk, apa itu busuk, apa itu baik dan apa itu harga diri. Apa aku masih manusia, ketika telingaku tak suka diganggu, dengan suara menyakitkan dari sekelilingku? Teriakan penuh darah, lengkingan penuh air mata, dari jiwa yang terperangkap dalam dunia tanpa makna.

Siapa yang salah?

Mereka yang jadi korban, perempuan-perempuan yang masih punya segudang pilihan yang menanti untuk dikejar.

Mereka yang jadi pelaku, lelaki-lelaki tanggung, yang punya jutaan langkah untuk ditapaki.

Mereka adalah produk yang berhasil dilaunching, sebagai gambaran, pabrik peradaban kita sudah bermetamorfosa sejauh apa. Peradaban yang mati-matian kita jaga, sampai mengeluarkan dana yang tak terbayang besarnya: pendidikan yang tak pernah punya pilihan murah meriah, teknologi yang terus menerus berkembang dengan kecepatan yang hampir sulit diikuti, seni yang tak boleh ada batasan moral di sana karena seni itu nilai universal tanpa presisi. Kembali. Aku tertawa, tawa yang mencuat karena lelah menangis. Sebab sudah kering. Tangis itu sudah kering sejak lama. Wajah peradaban ini semakin cantik, dipulas banyak sekali warna yang menggemilau, tapi yang lahir dari mulutnya, bukan ucap terima kasih, namun sumpah serapah dan desah perih.

 

Aruna Hara,

23 Mei 2016

Peluang Kita masih Ada, Wanita!

Iseng, rasanya itu kata yang terlalu kasar. Tapi itulah yang saya lakukan ketika saya dihadapkan pada topik yang satu ini, “Wanita dalam Al Quran”. Yang terbayang bagi saya sosok muslimah yang kokoh dan teguh dalam menjaga keimanannya..  paling-paling.. sosok Khadijah binti Khuwailid yang jadi ‘rumah’ bagi Rasulullah, pelipur lara juga penguat perjuangan. Sosok wanita lain yang terbayang adalah Maryam, sang perawan suci. Atau Asiyah, sang permaisuri Tiran Firaun.

Tapi saya kemudian bertanya, mudahkah menjadi wanita beriman? Pendamping para nabi seolah sudah otomatis akan beriman. Ya, mungkin kita tidak pernah secara sengaja menistakan keimanan dengan mengaitkannya secara tega bersama kekerabatan. But it happens.. unconscously. Sosok Aisyah yang keren, seolah biasa karena di sampingnya ada Muhammad SAW sebagai kekasih sekaligus pemimpinnya. Sosok Khadijah yang tangguh rasanya natural ketika sosok Rasulullah menjadi pendampingnya..

Lho..lho.. jadi iman bicara soal kedekatan dong?

Harusnya, jawabannya, “tidak!!”  Harusnya kita lihat, sosok terdekat Rasul pula lah yang menjadi sosok paling sengit dalam menentangnya. Uhmm.. bicara wanita, iseng saya cari keberadaan tadi, dan sosok tersebut terwakili dengan Walihah, beberapa sumber menyebutnya Wa’ilah.

Siapa sih Walihah ini? Namanya memang tak gaung, tak semantap orang berucap Asiyah atau Khadijah, tapi Al Quran mengisahkan pengkhianatannya.

“Allah membuat isteri nabi Nuh dan isteri nabi Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasab dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami, lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka suaminya itu tidak dapat membantu mereka dari (siksa) Allah…”

(QS. At Tahrim: 10)

Dialah Walihah, sosok pendamping Luth. Sosok yang mendampingi rasul Allah, melihat dan mengalami setiap proses perjuangan bersama sosok saleh. Tapi iman itu sampaikah padanya? Tak mungkin Luth melewatkan setiap momen bersama Walihah tanpa mengajari dan membimbingnya. Walihah lah perempuan dan sosok pertama yang akan mendengar wahyu dari mulut sucinya. Tapi sungguh sayang; kedekatan, ikatan kasih, juga kebersamaan tak jadi jembatan otomatis yang mengantarnya pada keimanan dan ketaatan…

Lagi-lagi.. bukankah harusnya kita sadar, ketaatan diusahakan? Wanita selevel Khadijah mulia bukan karena ada Muhammad di sisinya.. wanita seperti Aisyah terhormat bukan karena ada Muhammad bersamanya.  
Bukankah peluang kita untuk menjadi wanita mulia rasanya jadi terbuka? ☺

“Sebab kemuliaan kita tidak ditentukan dengan siapa kita berada.. Asiyah tetaplah dihadiahi rumah berdinding mutiara syurga, meski Firaun, sang penantang Tuhan bersanding dengannya..
Dan Walihah tak sudi pintu surga itu bergetar karenanya, tak bergeming sedikitpun untuk menyambutnya, meski Luth, Nabi Allah bersamanya.”

Aruna Hara,
Dago, Bandung. 10 Maret 2016

Some thought after break.
Aruna Hara

A letter for my self

Everyone has a dream. No matter what it is. There is no small dream.. the  different thing is whether that dream’s about one people, two people, or civilization. The more people you hope in your dream, the more you have struggling. So, wake up, Sawiyya!!! There is no thing you have to embarrased for. You are living your own life. Even you are succes, you alone for striving that. Or you are failed, no one will console. Dont be afraid of what people think, what people may say, what people hears, coz you know your own path.