Maksud di Balik Proses

Nurma Sawiyya

 

Berapa lama kita menghabiskan waktu di depan buku dan meja persegi? Sekurang-kurangnya, setiap orang di negeri ini berhak duduk di bangku sekolah hingga jenjang menengah. Kenapa bersekolah? Bagi saya pertanyaan itu begitu menggelitik untuk dilontarkan. Tujuan besar pendidikan cuma dua hal. Benarkah? Ya. Pendidikan di-ada-kan untuk membentuk manusia agar cerdas dan baik. Itu saja. Cerdas tak mengacu pada nilai IQ yang tinggi atau kemampuan menyelesaikan ujian kelulusan dengan keluaran memuaskan, tapi kemampuan beradaptasi dengan lingkungan, memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan. Baik? Barangkali definisi baik di sini yang sering jadi perdebatan.

Pendidikan akan menjadikan seseorang baik. Apa sih baik?

Good, atau baik, bisa jadi universal. Ada hal-hal yang disepakati secara umum untuk memberi label pada orang bahwa “dia baik”. Kejujuran, tanggung jawab, cintai damai, itu di antaranya. Baik bisa juga spesifik, menyerap budaya dan kebangsaan tempat kita tinggal, kesopanan, ketaatan beragama, itu contohnya. Maka secara kasar, kita akan menyimpulkan, seiring lajunya pendidikan maka akan semakin pandai orang tersebut untuk beradaptasi, dan semakin baik pula orang tersebut dalam berperilaku. Mudahnya, pendidikan akan menelurkan orang-orang penuh cinta terhadap diri, orang lain, dan lingkungannya.

Apa yang saya bayangkan?

Saya membayangkan negeri utopis. Negeri yang di dalamnya, hidup sekumpulan orang yang berpikir jauh ke depan karena cinta yang meruah di dalamnya. Para guru akan berpikir ribuan kali untuk menyerah tatkala anak didiknya tak memahami pelajarannya, bahkan akan tercipta inovasi dan variasi metode pembelajaran demi sang anak mencapai pemahaman yang dibutuhkan. Para orangtua akan berpikir ribuan kali untuk meninggalkan anaknya tanpa pengasuhan maksimal sebab ia menyadari, masa depan bangsanya ada dalam keluarganya. Para petinggi akan berpikir ribuan kali untuk berlaku kecurangan dan menjual asset negeri, sebab baginya kejayaan negeri tak hanya bicara soal hari ini, tapi puluhan dan ratusan tahun setelahnya.

Saya agak menyayangkan, ketika salah seorang guru sekolah dasar yang saya kenal bicara soal pandangannya mengenai perubahan kurikulum saat ini. Baginya perubahan kurikulum begitu memusingkan, merepotkan, banyak hal harus diubah dari cara lama yang biasa dilakukannya. Ah… kalau saja, cintanya mampu melihat puluhan tahun mendatang, maka menyesal lah dia telah mengabaikan kesempatan melakukan investasi besar demi kebermanfaatan.

Kalau pendidikan tinggi ini membuat saya jadi arogan, maka saya bukti produk gagal pendidikan itu. Kalau mengecap bangku pendidikan membuat seseorang semakin jauh dari kebermanfaatan, maka apa guna tahunan yang dihabiskan? Mungkin kita lupa, ada udang di balik batu, ada maksud dari proses kehidupan yang kita lalui, dalam hal ini pendidikan. Maka saatnya kita bertanya pada diri kita sendiri, benarkah saya bersekolah? Inikah diri yang sudah berpendidikan? Apa saya sudah baik? Apa saya bermanfaat? Apa saya dicintai lingkungan saya?