Tangis itu sudah Kering Sejak Lama

Aku bukan pemerhati media, tapi sesuatu yang begitu viral tak pernah lepas dari tangkapan radarku. Walaupun aku mengecek smartphone semata untuk mengecek Instagram (ketahuan narsis.hahaha..), melihat chat group dari WhatsApp, atau sekadar melihat headline news dari UC Browser yang suka Pop Up sewaktu-waktu, aku tahu apa yang terjadi di luar sana. Di tengah kesibukan mengerjakan TA yang sempat hilang dibawa maling (laptopnya yang raib, beserta semua data di dalamnya T.T), aku menemukan hal yang sangat miris terjadi akhir-akhir ini. Apa? Bukan, bukan maraknya nikah muda. Bukan juga seabreknya foto di nikahan mantan.  Temans…. Aku mengecek berita terpopuler minggu ini, apa yang muncul?

kasus pelecehn

YUP. Kasus pelecehan dan kekerasan seksual, yang tragisnya mengakibatkan kematian. Belum lama setelah kasus Yuyun yang ‘dikeroyok’ pemuda tanggung yang ramai-ramai melahapnya, kasus-kasus serupa tak habisnya muncul. Pemuda tanggung yang kalau aku pikir, gak tanggung-tanggung dosanya! Kalau disarikan, jangkauan umur pemuda yang sedang naik daun karena jadi pelaku utama di kasus ini masih remaja. Baru baligh. Baru anak kemarin sore, yang bisa melakukan kejahatan seksual pada perempuan yang jauh lebih tua. Bocah lelaki umur 15 bisa melakukan kejahatan seksual pada perempuan berumur 19 tahun, bahkan kalau masih ingat kasus Surabaya Gang Dolly, ada juga bocah SMP yang jadi pelanggan nenek berumur 60an tahun. Bergidik. Cuma itu yang aku rasakan.

Apalagi kalau membaca berita soal Eno, karyawati yang dibunuh dengan cara keji, cara yang juga menggambarkan apa yang ada di otak pembunuhnya: SEKSUALITAS. Aku tak pernah bisa membayangkan, apa saja yang di baca, dia lihat, dia tonton, sampai punya pemikiran melakukan hal sebejat itu. Yang gak kebayang, coba serach aja bro, berita tentang Eno Parihah. Aku gak sanggup menceritakannya dengan detail.

Aku bukan mau jadi penghujat, atau menyalahkan. For everything happened, aku berkaca, sampai dimana aku menjadi manusia? Apakah aku berhak dilabeli manusia, ketika aku menutup dua mataku untuk tak mau melihat ada yang sedang sekarat, terseok menuju kematian. Mati yang lebih buruk dari kematian jasadi, matinya akal dengan tak lagi bisa menimbang kebenaran. Matinya hati, dengan tak lagi mampu membeda, apa itu buruk, apa itu busuk, apa itu baik dan apa itu harga diri. Apa aku masih manusia, ketika telingaku tak suka diganggu, dengan suara menyakitkan dari sekelilingku? Teriakan penuh darah, lengkingan penuh air mata, dari jiwa yang terperangkap dalam dunia tanpa makna.

Siapa yang salah?

Mereka yang jadi korban, perempuan-perempuan yang masih punya segudang pilihan yang menanti untuk dikejar.

Mereka yang jadi pelaku, lelaki-lelaki tanggung, yang punya jutaan langkah untuk ditapaki.

Mereka adalah produk yang berhasil dilaunching, sebagai gambaran, pabrik peradaban kita sudah bermetamorfosa sejauh apa. Peradaban yang mati-matian kita jaga, sampai mengeluarkan dana yang tak terbayang besarnya: pendidikan yang tak pernah punya pilihan murah meriah, teknologi yang terus menerus berkembang dengan kecepatan yang hampir sulit diikuti, seni yang tak boleh ada batasan moral di sana karena seni itu nilai universal tanpa presisi. Kembali. Aku tertawa, tawa yang mencuat karena lelah menangis. Sebab sudah kering. Tangis itu sudah kering sejak lama. Wajah peradaban ini semakin cantik, dipulas banyak sekali warna yang menggemilau, tapi yang lahir dari mulutnya, bukan ucap terima kasih, namun sumpah serapah dan desah perih.

 

Aruna Hara,

23 Mei 2016

Wanita, apa yang kita impikan?

Mungkin ini pemikiran yang terlalu bebas, namun aku menjadi mempertanyakan jati diri wanita. Bermula dari pernikahan seorang sepupu yang  usianya sudah 28 tahun. Apa yang salah dari pernikahan seorang lelaki berumur 28 tahun?

 Aku menjadi bagian dari iringan mempelai pria bersama sekitar 20 saudara lainnya. Prosesi sebelum akad nikah berjalan lambat. sambutan dari pihak calon mempelai pria sangat lama. Pembicaraan mencakup tujuan kedatangan, siapa saja yang mengiringi calon mempelai pria, hingga apa saja yang dibawa kami semua sebagai pengiring (what a waste! -,-). Sambutan dari pihak calon mempelai wanita menyusul setelahnya. tidak panjang lebar. Aku sendiri sudah bosan mendengar ‘khotbah’ yang sama setiap kali prosesi ini.

 Akad nikah merupakan hal yang aku tunggu. Bukan apa-apa, penasaran saja, seperti apa sih si calon mempelai wanita? Akad nikah digelar di panggung dengan sebelumnya dilakukan pemanggilan calon mempelai wanita untuk ikut duduk berdampingan bersama calon suaminya. tadaaaa…. sosok wanita itu keluar dari balik kain penutup yang menyulap pintu rumah seperti juntaian tirai. Aku menatapnya, wanita itu begitu ringkih dengan balutan baju pengantinnya yang putih. Wajah yang polos, wajah yang masih lugu. Aku menerka, berapa usianya? Kupikir belum sampai 20.

 Sebelum akad dilangsungkan, ada pembacaan data pribadi kedua calon, mencakup nama lengkap dan tahun kelahiran. Aku menyimak sambil lalu. lalu terdengar sayup bilangan 1998. hah? Aku tidak salah dengar, kan? Atau mungkin maksudnya kelahiran 1988? Aku ternganga. bergegas aku menghampiri ibu yang terpaut 10 kursi dariku.

 “Bu, tadi kelahiran ceweknya kapan, ya?”

 “1998, teh”. APAAAA?

 “Jadi…dia sekarang umur 15? bedanya 13 tahun dong???”. Kagetku belum hilang.

 “Iya.. baru lulus SMP tahun ini.” Ibuku juga seperti menyayangkan.

 “hmm…”, aku hanya terdiam.

 Entahlah. Saat itu di mataku sepupuku seperti om-om yang akan kegirangan mendapatkan ABG. yaah.. mungkin agak kasar. Tapi aku melihat pernikahan ini hanyalah kurungan bagi remaja seusia mempelai wanita itu, sepupu baruku. masa depan seorang anak berusia 15 tahun masihlah sangat panjang. Bahkan untuk menuntaskan wajib belajar 12 tahun saja tidak bisa dilakukan setelahnya, bukan?

 Akan menjadi apa seorang wanita? Tentu saja menjadi seorang istri adalah keniscayaan, namun seorang wanita juga harus ikut ambil bagian dalam barisan perubahan. Kiprahnya tak cuma menjadi seorang seorang istri atau ibu bagi anak-anaknya, namun bagaimana juga ia bisa menabur manfaat yang lebih luas daripada itu, mampu menguatkan puluhan bahkan ribuan anak-anak lain untuk membentuk perubahan.

 Sama sekali tidak bermaksud menyepelekan tugas istri dan ibu. Namun ketika peran wanita bisa lebih dari sekadar itu, kenapa tidak? Sejarah tidak hanya ditorehkan oleh kaum berjakun saja, bukan? Aku bertanya-tanya bagimana seorang Al Khansa mampu menjadi salah satu prajurit perang bersama barisan lelaki perindu syahid. Aku bertanya-tanya bagaimana Ummu Umarah mampu menjadi seorang propagandis hingga terpotong tangannya di medan Uhud. Aku bertanya-tanya bagaimana Fatimah binti Ali ad-Daqqaq mampu menjadi salah satu dari jajaran perawi hadits terkemuka di abad ke-5 hijriah. Itu zaman rasulullah.. lalu bagaimana dengan wanita di abad 20? Aku juga tertegun mendapati seorang Maryam Jameela menjadi penulis buku islami yang mengkritisi sekulerisme, materialisme, dan modernism. 

 Tentu mereka semua menjalani proses yang tidak sama dengan kebanyakan wanita lainnya. Tentu mereka tidak melihat siklus hidup hanya sebatas menikah – punya anak – punya cucu – lalu selesai begitu saja. Mereka melihat peluang untuk menjadi wanita mulia yang berkontribusi dengan segenap kemampuan yang dimilikinya. Ah.. jalan masih sangat panjang untukku.

 

 Jatinangor, 20 Agustus 2013

– Nirma Yawisa

yang berminat mengintip sedikit siapa tokoh-tokoh di atas, bisa cari di:

 al-Allawi, Muhammad Ali. 2002. The Great Women: Mengapa Wanita  Harus Merasa Tidak Lebih Mulia. Penerj: El Hadi Muhammad. Pena Pundi Aksara: Jakarta.

 http://productivemuslim.com/influential-muslim-women-maryam-jameela/